Thursday, June 12, 2025

Selasa, 02 Juni 2009

[KBMSB] Orangtua Siswa Miskin Tangisi Mahalnya Biaya Sekolah

0 komentar

Ronsen
Sun, 21 May 2006 20:10:08 -0700

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0605/19/utama/2670746.htm

Orangtua Siswa Miskin Tangisi Mahalnya Biaya Sekolah
Ester L Napitupulu

Berdiri di antara tumpukan barang-barangnya yang digeletakkan begitu
saja di pinggir jalan, mata Siti (43) tampak berkaca-kaca. Korban
gusuran proyek double-double track Manggarai-Cikarang yang pernah
memiliki rumah di belakang Stasiun Kereta Api Jatinegara, Jakarta Timur,
itu berdiri gelisah.

Bukan soal tempat tinggal yang sudah rata dengan tanah semata yang
menggelisahkannya, tetapi terlebih soal nasib tiga anaknya yang masih
usia sekolah.

Belakangan ini Siti sering tidak kuasa menahan tangis. Apalagi saat
anak-anaknya berkata malu terus ditagih uang bayaran sekolah. ”Setiap
anak-anak mau ujian rasanya seperti dikejar-kejar utang. Guru gencar
menagih uang bulanan yang nunggak,” kata Siti yang mencari penghasilan
tambahan dengan berjualan gorengan di Stasiun KA Jatinegara.

Ade Putra (17), salah satu anaknya yang duduk di kelas III sebuah SMU
swasta di Jakarta Timur, terus mendesak ibunya untuk melunasi uang
sekolah yang sudah tiga bulan tidak dibayar, sebesar Rp 240.000. Ade
khawatir ijazah kelulusannya nanti ditahan karena uang sekolah belum lunas.

Untuk anak bungsunya, Ajeng (7), yang sekolah di SD negeri, Siti
bernapas lega karena tidak harus bayar biaya pendidikan. Namun, tetap
saja Siti bingung melunasi uang buku paket yang pembayarannya bisa dicicil.

”Ajeng jarang jajan karena uangnya ditabung untuk bayar buku. Untungnya,
dia tidak pernah malu,” kata Siti, yang suaminya bekerja sebagai tukang
parkir.

Yang saat ini mengganggu pikiran Siti adalah masa depan anaknya, Hari
Adrianto (15), yang putus sekolah. Baru tiga bulan bersekolah di sebuah
SMP negeri, Hari menangis minta izin ibunya untuk berhenti. Pasalnya, ia
harus membayar uang pembangunan sebagai siswa baru Rp 900.000 yang
ditetapkan dalam rapat dengan komite sekolah.

”Saya ingin anak-anak tidak malu kalau sekolah. Namun, bekerja sekeras
apa pun kok uang yang didapat tidak juga cukup untuk bayar sekolah
mereka,” keluh Siti.

Perempuan asal Indramayu ini juga prihatin dengan nasib dua keponakannya
yang putus sekolah karena terbentur biaya. Alfi (19) berhenti sekolah
dua tahun lalu saat naik ke kelas III STM. Adiknya, Ardi (16), tidak
bisa melanjutkan ke SMU.

Kesulitan membiayai sekolah anak juga dirasakan Freddy Tenlima (52),
koordinator keamanan Perusahaan Umum Pengangkutan Penumpang Djakarta
(PPD) Depo Cakung. Hatinya dipenuhi amarah saat anak bungsunya, Leonardo
(15), siswa kelas I SMP di Bekasi, dua bulan ini tidak mau sekolah.
Anaknya yang lain, Martin (18), siswa kelas III SMK swasta juga menuntut
uang bulanan yang tertunggak.

Leonardo malu karena ayahnya yang tidak menerima gaji sejak Desember
2005-Mei 2006 tidak bisa membayar uang sekolahnya. ”Hati saya rasanya
kacau. Sudah terusir dari rumah kontrakan, sekarang anak saya berhenti
sekolah,” kata Freddy, yang seharusnya menerima gaji Rp 950.000 per bulan.

Akibat perusahaan BUMN itu yang terus merugi sehingga tidak sanggup lagi
menggaji ribuan karyawannya, keluarga Freddy kesulitan hidup. Freddy
sampai menulis dan mengantarkan sendiri surat soal kondisi perusahaannya
dan nasib keluarganya ke Istana Presiden pada awal Mei lalu. Namun,
sampai saat ini belum ada jawaban.

Demi mempertahankan semangat sekolah anaknya, Santoso Tri Prayitno (44),
satpam Perum PPD, menemui bagian tata usaha. Santoso menjelaskan
kondisinya yang tidak lagi bergaji sehingga tidak mampu membayar uang
sekolah anaknya di SMP negeri di Rawamangun, Jakarta Timur, sebesar Rp
65.000 per bulan.

”Saya baru bisa bayar dua bulan untuk tahun ini. Itu pun mengutang. Saya
terus terang saja soal kondisi keluarga karena memang tidak mampu.
Apalagi ibunya di kampung sakit,” kata Santoso yang beruntung dua
anaknya yang lain dapat bantuan biaya sekolah dari gereja.

Ketidaksanggupan orangtua menanggung biaya sekolah menyebabkan Herman
(12), siswa kelas VI SD negeri di Pondok Kelapa, Jakarta Timur, juga
berhenti sekolah. Ia kemudian berjualan koran untuk meringankan beban
orangtuanya.

Di Jakarta kita begitu mudah menemui anak-anak usia sekolah yang
terpaksa mengadu nasib di jalanan. Ada yang mengamen, mengemis, atau
menjadi pedagang asongan supaya bisa mendapat uang ala kadarnya.

Selain untuk membantu dapur orangtuanya, ada juga yang untuk menambah
uang sekolah. Di angkutan umum, misalnya, anak-anak kecil yang mengamen
menyodorkan amplop yang bertuliskan untuk biaya sekolah.

Di DKI Jakarta di sekolah negeri terpampang spanduk bertuliskan sekolah
gratis karena sudah ada bantuan operasional sekolah (BOS) dan biaya
operasional provinsi (BOP).

Akan tetapi, yang sering dikeluhkan adalah biaya pembelian buku paket
yang nilainya bisa mencapai ratusan ribu rupiah untuk satu semester.
Maka, menyekolahkan anak pun tetap saja dirasakan sebagai beban yang
sering kali menguras air mata orangtua....

--
Ronsen
Yet Another Gindis Player
http://tinyurl.com/pgohk


------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~-->
Get to your groups with one click. Know instantly when new email arrives
http://us.click.yahoo.com/.7bhrC/MGxNAA/yQLSAA/uBfwlB/TM
--------------------------------------------------------------------~->
_____________________________________________________________

Keluarga Besar Mahasiswa Siantar-Bandung (KBMSB)
kbmsb@yahoogroups.com
http://groups.yahoo.com/group/KBMSB
http://www.mail-archive.com/kbmsb@yahoogroups.com

Disclaimer : Isi tanggung jawab pembaca !

Yahoo! Groups Links
<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/KBMSB/
<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]
<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/










Bookmark and Share

Klik! Baca selengkapnya ......

Orangtua Siswa Miskin Tangisi Mahalnya Biaya Sekolah

0 komentar




Jakarta (Kompas: 19/05/06) Berdiri di antara tumpukan barang-barangnya yang digeletakkan begitu saja di pinggir jalan, mata Siti (43) tampak berkaca-kaca. Korban gusuran proyek double-double track Manggarai-Cikarang yang pernah memiliki rumah di belakang Stasiun Kereta Api Jatinegara, Jakarta Timur, itu berdiri gelisah.

Bukan soal tempat tinggal yang sudah rata dengan tanah semata yang menggelisahkannya, tetapi terlebih soal nasib tiga anaknya yang masih usia sekolah. Belakangan ini Siti sering tidak kuasa menahan tangis. Apalagi saat anak-anaknya berkata malu terus ditagih uang bayaran sekolah. ”Setiap anak-anak mau ujian rasanya seperti dikejar-kejar utang.

Guru gencar menagih uang bulanan yang nunggak,” kata Siti yang mencari penghasilan tambahan dengan berjualan gorengan di Stasiun KA Jatinegara.Ade Putra (17), salah satu anaknya yang duduk di kelas III sebuah SMU swasta di Jakarta Timur, terus mendesak ibunya untuk melunasi uang sekolah yang sudah tiga bulan tidak dibayar, sebesar Rp 240.000. Ade khawatir ijazah kelulusannya nanti ditahan karena uang sekolah belum lunas.

Untuk anak bungsunya, Ajeng (7), yang sekolah di SD negeri, Siti bernapas lega karena tidak harus bayar biaya pendidikan. Namun, tetap saja Siti bingung melunasi uang buku paket yang pembayarannya bisa dicicil.”Ajeng jarang jajan karena uangnya ditabung untuk bayar buku. Untungnya, dia tidak pernah malu,” kata Siti, yang suaminya bekerja sebagai tukang parkir.

Yang saat ini mengganggu pikiran Siti adalah masa depan anaknya, Hari Adrianto (15), yang putus sekolah. Baru tiga bulan bersekolah di sebuah SMP negeri, Hari menangis minta izin ibunya untuk berhenti. Pasalnya, ia harus membayar uang pembangunan sebagai siswa baru Rp 900.000 yang ditetapkan dalam rapat dengan komite sekolah.

”Saya ingin anak-anak tidak malu kalau sekolah. Namun, bekerja sekeras apa pun kok uang yang didapat tidak juga cukup untuk bayar sekolah mereka,” keluh Siti.Perempuan asal Indramayu ini juga prihatin dengan nasib dua keponakannya yang putus sekolah karena terbentur biaya. Alfi (19) berhenti sekolah dua tahun lalu saat naik ke kelas III STM. Adiknya, Ardi (16), tidak bisa melanjutkan ke SMU.

Kesulitan membiayai sekolah anak juga dirasakan Freddy Tenlima (52), koordinator keamanan Perusahaan Umum Pengangkutan Penumpang Djakarta (PPD) Depo Cakung. Hatinya dipenuhi amarah saat anak bungsunya, Leonardo (15), siswa kelas I SMP di Bekasi, dua bulan ini tidak mau sekolah. Anaknya yang lain, Martin (18), siswa kelas III SMK swasta juga menuntut uang bulanan yang tertunggak.

Leonardo malu karena ayahnya yang tidak menerima gaji sejak Desember 2005-Mei 2006 tidak bisa membayar uang sekolahnya. ”Hati saya rasanya kacau. Sudah terusir dari rumah kontrakan, sekarang anak saya berhenti sekolah,” kata Freddy, yang seharusnya menerima gaji Rp 950.000 per bulan.

Akibat perusahaan BUMN itu yang terus merugi sehingga tidak sanggup lagi menggaji ribuan karyawannya, keluarga Freddy kesulitan hidup. Freddy sampai menulis dan mengantarkan sendiri surat soal kondisi perusahaannya dan nasib keluarganya ke Istana Presiden pada awal Mei lalu. Namun, sampai saat ini belum ada jawaban.

Demi mempertahankan semangat sekolah anaknya, Santoso Tri Prayitno (44), satpam Perum PPD, menemui bagian tata usaha. Santoso menjelaskan kondisinya yang tidak lagi bergaji sehingga tidak mampu membayar uang sekolah anaknya di SMP negeri di Rawamangun, Jakarta Timur, sebesar Rp 65.000 per bulan.

”Saya baru bisa bayar dua bulan untuk tahun ini. Itu pun mengutang. Saya terus terang saja soal kondisi keluarga karena memang tidak mampu. Apalagi ibunya di kampung sakit,” kata Santoso yang beruntung dua anaknya yang lain dapat bantuan biaya sekolah dari gereja.
Ketidaksanggupan orangtua menanggung biaya sekolah menyebabkan Herman (12), siswa kelas VI SD negeri di Pondok Kelapa, Jakarta Timur, juga berhenti sekolah. Ia kemudian berjualan koran untuk meringankan beban orangtuanya.

Di Jakarta kita begitu mudah menemui anak-anak usia sekolah yang terpaksa mengadu nasib di jalanan. Ada yang mengamen, mengemis, atau menjadi pedagang asongan supaya bisa mendapat uang ala kadarnya.

Selain untuk membantu dapur orangtuanya, ada juga yang untuk menambah uang sekolah. Di angkutan umum, misalnya, anak-anak kecil yang mengamen menyodorkan amplop yang bertuliskan untuk biaya sekolah.

Di DKI Jakarta di sekolah negeri terpampang spanduk bertuliskan sekolah gratis karena sudah ada bantuan operasional sekolah (BOS) dan biaya operasional provinsi (BOP).
Akan tetapi, yang sering dikeluhkan adalah biaya pembelian buku paket yang nilainya bisa mencapai ratusan ribu rupiah untuk satu semester. Maka, menyekolahkan anak pun tetap saja dirasakan sebagai beban yang sering kali menguras air mata orangtua....

Oleh: Ester L Napitupulu





Bookmark and Share

Klik! Baca selengkapnya ......

12 Juta Anak Indonesia Putus Sekolah

0 komentar

By Robert Manurung

155.965 anak berkeliaran di jalan. Sekitar 2,1 juta menjadi pekerja di bawah umur. Mereka sasaran empuk perdagangan anak.

Oleh : Robert Manurung

SETELAH membaca artikel ini, Anda pasti merasa sangat beruntung, dan mendapat alasan baru untuk mensyukuri kemujuran hidup Anda. Tapi sebaliknya Anda pun bisa dihinggapi rasa bersalah; prihatin dan cemas.

Tentu, kita semua sangat beruntung karena setidak-tidaknya telah menyelesaikan pendidikan SMA, bahkan sebagian besar di antara kita sudah bergelar sarjana. Bandingkanlah dengan nasib apes anak-anak di sekeliling kita; yang terpaksa putus sekolah karena orangtua tak mampu lagi membiayai; lalu menjalani hari-hari yang hampa dan menatap masa depan dengan rasa gamang.

Pernahkah Anda bayangkan bahwa jumlah anak putus sekolah di negeri tercinta ini ternyata sudah puluhan juta ? Menurut data resmi yang dihimpun dari 33 Kantor Komnas Perlindungan Anak (PA) di 33 provinsi, jumlah anak putus sekolah pada tahun 2007 sudah mencapai 11,7 juta jiwa. Jumlah itu pasti sudah bertambah lagi tahun ini, mengingat keadaan ekonomi nasional yang kian memburuk.

Ternyata, peningkatan jumlah anak putus sekolah di Indonesia sangat mengerikan. Lihatlah, pada tahun 2006 jumlahnya “masih” sekitar 9,7 juta anak; namun setahun kemudian sudah bertambah sekitar 20 % menjadi 11,7 juta jiwa. Tidak ada keterangan dari Komnas PA apakah jumlah tersebut merupakan akumulasi data tahun sebelumnya, lalu ditambah dengan jumlah anak-anak yang baru saja putus sekolah. Tapi kalaupun jumlah itu bersifat kumulatif, tetap saja terasa sangat menyesakkan.

Bayangkan, gairah belajar 12 juta anak terpaksa dipadamkan. Dan 12 juta harapan yang melambung kini kandas di dataran realitas yang keras, seperti balon raksasa ditusuk secara kasar–kempes dalam sekejap. Ini bencana nasional dengan implikasi yang sangat luas, dan bahkan mengerikan!

Alangkah ironisnya jika fakta ini kita hubungkan dengan agenda nasional beberapa tahun lalu; betapa anak-anak itu dan orangtua mereka dibujuk dan dirayu melalui kampanye yang sangat masif di televisi; termasuk program populer Ayosekolah yang diprakarsai aktor Rano Karno; supaya mereka mau bersekolah. Tahu-tahu sekarang mereka harus meninggalkan bangku sekolah, dan menyaksikan pameran kemewahan di sekitarnya–yang dari hari ke hari semakin vulgar dan telanjang.

Anak-anak itu ada di sekitar kita. Mungkin beberapa di antaranya adalah anak tetangga Anda. Dan siapa tahu, salah seorang di antaranya masih kerabat Anda, tapi mungkin berada di tempat yang jauh. Yang pasti, mereka adalah tunas-tunas harapan bangsa yang besar ini

Apakah aku, Anda dan kita semua berhak untuk terus bersikap masa bodoh; berdalih bahwa itu adalah tanggungjawab pemerintah; lalu melanjutkan cara hidup kita yang boros dan selfish? Adakah yang bisa aku lakukan selain mewartakan bencana ini melalui blog ? Dan tidak adakah yang bisa Anda lakukan selain merasa prihatin sejenak, lalu meninggalkan komentar, kemudian mencari di blog lain artikel yang lebih menyenangkan dan menghibur hati Anda ?

* * *

PENDIDIKAN formal memang bukan segala-galanya. Beberapa pengusaha besar di Indonesia, misalnya konglomerat Liem Sioe Liong, cuma lulusan sekolah dasar. Tapi itu kasus yang istimewa. Dalam kenyataan yang umum, tingkat pendidikan berpengaruh mutlak terhadap peluang bekerja, posisi di bidang kerja, tingkat salary dan fasilitas yang dapat dinikmati; menentukan pula terhadap perilaku individu dalam rumah tangga, tanggung jawab sosial; dan mempengaruhi bobot independensi individu di bidang sosial-politik

Kita tidak usah menjadi ahli sosiologi kalau cuma untuk memahami konsekuensi logis dari bencana ini. Secara kasat mata saja kita sudah bisa melihat dampak langsung dari begitu besarnya angka putus sekolah di Indonesia. Pengamen cilik dan usia remaja kini bergentayangan di seluruh wilayah negeri ini. Tidak hanya di kota-kota besar, mereka hadir sampai di desa-desa dan menyebarkan kebisingan, gangguan dan kecemasan.

Menurut Sekjen Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, kasus putus sekolah yang paling menonjol tahun ini terjadi di tingkat SMP, yaitu 48 %. Adapun di tingkat SD tercatat 23 %. Sedangkan prosentase jumlah putus sekolah di tingkat SMA adalah 29 %. Kalau digabungkan kelompok usia pubertas, yaitu anak SMP dan SMA, jumlahnya mencapai 77 %. Dengan kata lain, jumlah anak usia remaja yang putus sekolah tahun ini tak kurang dari 8 juta orang.

Bayangkan, 8 juta remaja yang masih labil dan mencari identitas diri terpaksa putus sekolah; terpaksa meninggalkan teman-temannya yang masih terus bersekolah; dan terpaksa menelan kenyataan pahit sebagai manusia yang gagal dan tereliminasi. Ini problem sosial yang dahsyat!

Menurut Arist Merdeka Sirait, sebagaimana diberitakan surat kabar Kompas edisi Selasa (18/3),”Dampak ikutan, anak-anak yang berkeliaran di jalan-jalan di Jakarta juga akan terus bertambah. Setelah mereka putus sekolah tentu mereka akan berupaya membantu ekonomi keluarga dengan bekerja apa pun.”

“Bekerja apapun” adalah sebuah pesan yang sangat jelas, meski sengaja disampaikan secara samar. Artinya, dalam rangka stuggle for life atau demi melanjutkan gaya hidup yang terlanjur konsumtif; bisa saja mereka menjadi pedagang asongan, pengamen, pengemis, kuli panggul, pencopet, pedagang narkoba; atau menjadi pembantu rumah tangga, kawin di usia dini atau menjadi pelacur.

* * *

MENURUT catatan Komnas PA, pada tahun 2007 sekitar 155.965 anak Indonesia hidup di jalanan. Sementara pekerja di bawah umur sekitar 2,1 juta jiwa. Anak-anak tersebut sangat rawan menjadi sasaran perdagangan anak.

Bukan cuma itu. Anak-anak yang hidup di jalanan itu juga sangat potensial disalahgunakan oleh kejahatan yang terorganisasi. Tekanan untuk bertahan hidup dan godaan untuk hidup mewah adalah dua titik lemah para remaja yang masih labil itu; sehingga mereka bisa dibujuk dengan gampang untuk melakukan tindak kriminal.

Di Brazil, di antara jutaan anak yang hidup gentayangan di jalanan, sebagian sudah menjelma menjadi monster. Cukup diberi imbalan 100 dolar, anak-anak itu bisa disuruh membunuh orang atau jadi kurir narkoba. Mereka membuat kehidupan sehari-hari di kota-kota besar semacam Rio de Janeiro dan Sao Paulo bisa berubah menjadi horor, tanpa disangka-sangka. Warga pun jadi resah, dan pemerintah kota yang kurang panjang akal dan tidak bermoral kemudian merespon kepanikan masyarakat dengan jalan pintas : anak-anak itu ditembaki dan dibunuh secara massal– pada malam hari,. ketika mereka tertidur di taman-taman kota atau di emperan-emperan toko.

Jalan pintas dan cara-cara yang tidak manusiawi dalam menanggulangi problem urbanisasi—termasuk masalah anak-anak jalanan, kini sudah banyak dipraktekkan oleh sejumlah pemda di pulau Jawa. Baru-baru ini, aparat Polisi Pamongpraja Kotamadya Serang menciduk para gelandangan di malam hari, kemudian orang-orang yang malang itu diangkut dengan kendaraan dan dibuang di wilayah Kabupaten Pandeglang. Siapa sangka, tindakan biadab seperti itu bisa dilakukan oleh aparat pemerintah di sebuah negara yang berazaskan Pancasila, di sebuah provinsi yang berambisi menyaingi Aceh sebagai Serambi Mekah ?

Inilah potret buram dunia pendidikan Indonesia hari ini. Kalau ternyata Anda tiba-tiba diliputi rasa bersalah, prihatin dan cemas setelah melihat potret jelek itu, beryukurlah, ternyata Anda masih normal dan memiliki moral yang tinggi. Dan bersyukurlah, karena bukan Anda atau kerabat dekat Anda yang hari ini terpaksa putus sekolah, sementara pemerintahan SBY-JK masih saja nekad membuat rasionalisasi untuk mengecoh masyarakat—seolah-olah perekonomian nasional sudah pulih dan bangkit.

Percayalah, SBY-JK baru akan yakin bahwa ada masalah—sebenarnya lebih tepat disebut bencana nasional, kalau cucu mereka sendiri yang putus sekolah karena tidak ada biaya. Mudah-mudahan itu tidak terjadi, karena kalau sampai terjadi kita tidak bakal sempat menyaksikannya, karena sudah keburu mati akibat kelaparan.

M E R D E K A !


Sumber: Ayomerdeka



Bookmark and Share

Klik! Baca selengkapnya ......

Nasib Anak Putus Sekolah

0 komentar

Selamat Pagi Indonesia
22/04/2008 - 00:01


GEGAP gempita demokratisasi dalam berbagai pilkada di Indonesia tidak boleh melupakan tingginya angka kemiskinan dan angka putus sekolah di kalangan masyarakat bawah. Demokrasi hanya akan berarti, jika tidak ada lagi angka putus sekolah dari SD sampai SLTA akibat kemiskinan dan keterbelakangan.

Hanya dengan generasi penerus yang terdidik dan cerdas serta bermoral, maka hari depan bangsa bisa dibayangkan titik terangnya. Namun pendidikan di Indonesia semakin lama semakin mahal. Program pendidikan gratis yang diterapkan pemerintah pun masih dianggap belum efektif dalam meningkatkan pendidikan di Indonesia.

Sehingga wajar bila banyak anak-anak usia sekolah yang terpaksa putus sekolah akibat masalah dana. Sebanyak 8 juta siswa SD sampai SLTP di seluruh Indonesia terancam putus sekolah. Jumlah tersebut setara 20% hingga 40% siswa SD-SMP saat ini, yaitu sekitar 40 juta siswa.

Fakta 8 juta siswa yang terancam putus sekolah ini disampaikan oleh A Piet Simandjuntak, Sekretaris Pengurus Gerakan Nasional Orangtua Asuh (GN-OTA). Tingginya angka anak-anak yang putus sekolah ini, ditengarai menjadi pangkal dari banyaknya kasus eksploitasi anak di bawah umur, perdagangan anak (trafficking), dan narkoba.

GN-OTA didirikan atas inisiatif pemerintah pada 29 Mei 1996 yang diawali dengan kepedulian akan tuntasnya program Wajib Belajar 6 tahun. Saat ini program wajib belajar telah ditingkatkan menjadi Wajib Belajar 9 tahun, yaitu dari SD sampai SLTP.

Kita sangat prihatin terhadap tingginya angka putus sekolah akibat kemiskinan itu. Sudah semestinya pemerintah maupun kaum kaya di Indonesia perduli dan berkomitmen membantu mengatasi masalah tersebut.

Memang sejumlah perusahaan telah menunjukkan kepeduliannya. GN-OTA misalnya baru-baru ini menerima bantuan sebesar Rp 100 juta dari PT Tirta Citra Nusantara. Angka itu jelas jauh dari cukup, meski diharapkan dapat membantu biaya pendidikan seribu siswa seluruh Indonesia.

Kita mengimbau kaum kaya dan pengusaha untuk memberikan sumbangan bagi GN-OTA agar menjadi bentuk kepedulian terhadap masalah sosial dan pendidikan di Indonesia. Jika angka putus sekolah SD sampai SMA bisa diatasi, masa depan generasi mendatang sudah pasti akan lebih baik dibandingkan masa lalu yang ditandai dengan tingginya angka putus sekolah itu.

Sudah tentu, kebijakan pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan murah atau gratis amat dinantikan oleh kaum miskin, agar kehidupan mereka bisa bebas dari buta pengetahuan.

Adalah tugas dan kewajiban negara dan masyarakat secara bersama untuk mencerdaskan bangsa dan menyelamatkan kaum tak punya dari keterbelakangan. Ini penting agar delapan juta siswa sekolah tidak putus di tengah jalan.

Sumber: Inilah.com





Bookmark and Share

Klik! Baca selengkapnya ......
 

Copyright 2009 All Rights Reserved KABAR KEGIATAN KESISWAAN.