Saturday, July 26, 2025

Selasa, 02 Juni 2009

Orangtua Siswa Miskin Tangisi Mahalnya Biaya Sekolah





Jakarta (Kompas: 19/05/06) Berdiri di antara tumpukan barang-barangnya yang digeletakkan begitu saja di pinggir jalan, mata Siti (43) tampak berkaca-kaca. Korban gusuran proyek double-double track Manggarai-Cikarang yang pernah memiliki rumah di belakang Stasiun Kereta Api Jatinegara, Jakarta Timur, itu berdiri gelisah.

Bukan soal tempat tinggal yang sudah rata dengan tanah semata yang menggelisahkannya, tetapi terlebih soal nasib tiga anaknya yang masih usia sekolah. Belakangan ini Siti sering tidak kuasa menahan tangis. Apalagi saat anak-anaknya berkata malu terus ditagih uang bayaran sekolah. ”Setiap anak-anak mau ujian rasanya seperti dikejar-kejar utang.

Guru gencar menagih uang bulanan yang nunggak,” kata Siti yang mencari penghasilan tambahan dengan berjualan gorengan di Stasiun KA Jatinegara.Ade Putra (17), salah satu anaknya yang duduk di kelas III sebuah SMU swasta di Jakarta Timur, terus mendesak ibunya untuk melunasi uang sekolah yang sudah tiga bulan tidak dibayar, sebesar Rp 240.000. Ade khawatir ijazah kelulusannya nanti ditahan karena uang sekolah belum lunas.

Untuk anak bungsunya, Ajeng (7), yang sekolah di SD negeri, Siti bernapas lega karena tidak harus bayar biaya pendidikan. Namun, tetap saja Siti bingung melunasi uang buku paket yang pembayarannya bisa dicicil.”Ajeng jarang jajan karena uangnya ditabung untuk bayar buku. Untungnya, dia tidak pernah malu,” kata Siti, yang suaminya bekerja sebagai tukang parkir.

Yang saat ini mengganggu pikiran Siti adalah masa depan anaknya, Hari Adrianto (15), yang putus sekolah. Baru tiga bulan bersekolah di sebuah SMP negeri, Hari menangis minta izin ibunya untuk berhenti. Pasalnya, ia harus membayar uang pembangunan sebagai siswa baru Rp 900.000 yang ditetapkan dalam rapat dengan komite sekolah.

”Saya ingin anak-anak tidak malu kalau sekolah. Namun, bekerja sekeras apa pun kok uang yang didapat tidak juga cukup untuk bayar sekolah mereka,” keluh Siti.Perempuan asal Indramayu ini juga prihatin dengan nasib dua keponakannya yang putus sekolah karena terbentur biaya. Alfi (19) berhenti sekolah dua tahun lalu saat naik ke kelas III STM. Adiknya, Ardi (16), tidak bisa melanjutkan ke SMU.

Kesulitan membiayai sekolah anak juga dirasakan Freddy Tenlima (52), koordinator keamanan Perusahaan Umum Pengangkutan Penumpang Djakarta (PPD) Depo Cakung. Hatinya dipenuhi amarah saat anak bungsunya, Leonardo (15), siswa kelas I SMP di Bekasi, dua bulan ini tidak mau sekolah. Anaknya yang lain, Martin (18), siswa kelas III SMK swasta juga menuntut uang bulanan yang tertunggak.

Leonardo malu karena ayahnya yang tidak menerima gaji sejak Desember 2005-Mei 2006 tidak bisa membayar uang sekolahnya. ”Hati saya rasanya kacau. Sudah terusir dari rumah kontrakan, sekarang anak saya berhenti sekolah,” kata Freddy, yang seharusnya menerima gaji Rp 950.000 per bulan.

Akibat perusahaan BUMN itu yang terus merugi sehingga tidak sanggup lagi menggaji ribuan karyawannya, keluarga Freddy kesulitan hidup. Freddy sampai menulis dan mengantarkan sendiri surat soal kondisi perusahaannya dan nasib keluarganya ke Istana Presiden pada awal Mei lalu. Namun, sampai saat ini belum ada jawaban.

Demi mempertahankan semangat sekolah anaknya, Santoso Tri Prayitno (44), satpam Perum PPD, menemui bagian tata usaha. Santoso menjelaskan kondisinya yang tidak lagi bergaji sehingga tidak mampu membayar uang sekolah anaknya di SMP negeri di Rawamangun, Jakarta Timur, sebesar Rp 65.000 per bulan.

”Saya baru bisa bayar dua bulan untuk tahun ini. Itu pun mengutang. Saya terus terang saja soal kondisi keluarga karena memang tidak mampu. Apalagi ibunya di kampung sakit,” kata Santoso yang beruntung dua anaknya yang lain dapat bantuan biaya sekolah dari gereja.
Ketidaksanggupan orangtua menanggung biaya sekolah menyebabkan Herman (12), siswa kelas VI SD negeri di Pondok Kelapa, Jakarta Timur, juga berhenti sekolah. Ia kemudian berjualan koran untuk meringankan beban orangtuanya.

Di Jakarta kita begitu mudah menemui anak-anak usia sekolah yang terpaksa mengadu nasib di jalanan. Ada yang mengamen, mengemis, atau menjadi pedagang asongan supaya bisa mendapat uang ala kadarnya.

Selain untuk membantu dapur orangtuanya, ada juga yang untuk menambah uang sekolah. Di angkutan umum, misalnya, anak-anak kecil yang mengamen menyodorkan amplop yang bertuliskan untuk biaya sekolah.

Di DKI Jakarta di sekolah negeri terpampang spanduk bertuliskan sekolah gratis karena sudah ada bantuan operasional sekolah (BOS) dan biaya operasional provinsi (BOP).
Akan tetapi, yang sering dikeluhkan adalah biaya pembelian buku paket yang nilainya bisa mencapai ratusan ribu rupiah untuk satu semester. Maka, menyekolahkan anak pun tetap saja dirasakan sebagai beban yang sering kali menguras air mata orangtua....

Oleh: Ester L Napitupulu





Bookmark and Share

0 komentar:

Posting Komentar

 

Copyright 2009 All Rights Reserved KABAR KEGIATAN KESISWAAN.