Wednesday, June 11, 2025

Selasa, 02 Juni 2009

[KBMSB] Orangtua Siswa Miskin Tangisi Mahalnya Biaya Sekolah

0 komentar

Ronsen
Sun, 21 May 2006 20:10:08 -0700

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0605/19/utama/2670746.htm

Orangtua Siswa Miskin Tangisi Mahalnya Biaya Sekolah
Ester L Napitupulu

Berdiri di antara tumpukan barang-barangnya yang digeletakkan begitu
saja di pinggir jalan, mata Siti (43) tampak berkaca-kaca. Korban
gusuran proyek double-double track Manggarai-Cikarang yang pernah
memiliki rumah di belakang Stasiun Kereta Api Jatinegara, Jakarta Timur,
itu berdiri gelisah.

Bukan soal tempat tinggal yang sudah rata dengan tanah semata yang
menggelisahkannya, tetapi terlebih soal nasib tiga anaknya yang masih
usia sekolah.

Belakangan ini Siti sering tidak kuasa menahan tangis. Apalagi saat
anak-anaknya berkata malu terus ditagih uang bayaran sekolah. ”Setiap
anak-anak mau ujian rasanya seperti dikejar-kejar utang. Guru gencar
menagih uang bulanan yang nunggak,” kata Siti yang mencari penghasilan
tambahan dengan berjualan gorengan di Stasiun KA Jatinegara.

Ade Putra (17), salah satu anaknya yang duduk di kelas III sebuah SMU
swasta di Jakarta Timur, terus mendesak ibunya untuk melunasi uang
sekolah yang sudah tiga bulan tidak dibayar, sebesar Rp 240.000. Ade
khawatir ijazah kelulusannya nanti ditahan karena uang sekolah belum lunas.

Untuk anak bungsunya, Ajeng (7), yang sekolah di SD negeri, Siti
bernapas lega karena tidak harus bayar biaya pendidikan. Namun, tetap
saja Siti bingung melunasi uang buku paket yang pembayarannya bisa dicicil.

”Ajeng jarang jajan karena uangnya ditabung untuk bayar buku. Untungnya,
dia tidak pernah malu,” kata Siti, yang suaminya bekerja sebagai tukang
parkir.

Yang saat ini mengganggu pikiran Siti adalah masa depan anaknya, Hari
Adrianto (15), yang putus sekolah. Baru tiga bulan bersekolah di sebuah
SMP negeri, Hari menangis minta izin ibunya untuk berhenti. Pasalnya, ia
harus membayar uang pembangunan sebagai siswa baru Rp 900.000 yang
ditetapkan dalam rapat dengan komite sekolah.

”Saya ingin anak-anak tidak malu kalau sekolah. Namun, bekerja sekeras
apa pun kok uang yang didapat tidak juga cukup untuk bayar sekolah
mereka,” keluh Siti.

Perempuan asal Indramayu ini juga prihatin dengan nasib dua keponakannya
yang putus sekolah karena terbentur biaya. Alfi (19) berhenti sekolah
dua tahun lalu saat naik ke kelas III STM. Adiknya, Ardi (16), tidak
bisa melanjutkan ke SMU.

Kesulitan membiayai sekolah anak juga dirasakan Freddy Tenlima (52),
koordinator keamanan Perusahaan Umum Pengangkutan Penumpang Djakarta
(PPD) Depo Cakung. Hatinya dipenuhi amarah saat anak bungsunya, Leonardo
(15), siswa kelas I SMP di Bekasi, dua bulan ini tidak mau sekolah.
Anaknya yang lain, Martin (18), siswa kelas III SMK swasta juga menuntut
uang bulanan yang tertunggak.

Leonardo malu karena ayahnya yang tidak menerima gaji sejak Desember
2005-Mei 2006 tidak bisa membayar uang sekolahnya. ”Hati saya rasanya
kacau. Sudah terusir dari rumah kontrakan, sekarang anak saya berhenti
sekolah,” kata Freddy, yang seharusnya menerima gaji Rp 950.000 per bulan.

Akibat perusahaan BUMN itu yang terus merugi sehingga tidak sanggup lagi
menggaji ribuan karyawannya, keluarga Freddy kesulitan hidup. Freddy
sampai menulis dan mengantarkan sendiri surat soal kondisi perusahaannya
dan nasib keluarganya ke Istana Presiden pada awal Mei lalu. Namun,
sampai saat ini belum ada jawaban.

Demi mempertahankan semangat sekolah anaknya, Santoso Tri Prayitno (44),
satpam Perum PPD, menemui bagian tata usaha. Santoso menjelaskan
kondisinya yang tidak lagi bergaji sehingga tidak mampu membayar uang
sekolah anaknya di SMP negeri di Rawamangun, Jakarta Timur, sebesar Rp
65.000 per bulan.

”Saya baru bisa bayar dua bulan untuk tahun ini. Itu pun mengutang. Saya
terus terang saja soal kondisi keluarga karena memang tidak mampu.
Apalagi ibunya di kampung sakit,” kata Santoso yang beruntung dua
anaknya yang lain dapat bantuan biaya sekolah dari gereja.

Ketidaksanggupan orangtua menanggung biaya sekolah menyebabkan Herman
(12), siswa kelas VI SD negeri di Pondok Kelapa, Jakarta Timur, juga
berhenti sekolah. Ia kemudian berjualan koran untuk meringankan beban
orangtuanya.

Di Jakarta kita begitu mudah menemui anak-anak usia sekolah yang
terpaksa mengadu nasib di jalanan. Ada yang mengamen, mengemis, atau
menjadi pedagang asongan supaya bisa mendapat uang ala kadarnya.

Selain untuk membantu dapur orangtuanya, ada juga yang untuk menambah
uang sekolah. Di angkutan umum, misalnya, anak-anak kecil yang mengamen
menyodorkan amplop yang bertuliskan untuk biaya sekolah.

Di DKI Jakarta di sekolah negeri terpampang spanduk bertuliskan sekolah
gratis karena sudah ada bantuan operasional sekolah (BOS) dan biaya
operasional provinsi (BOP).

Akan tetapi, yang sering dikeluhkan adalah biaya pembelian buku paket
yang nilainya bisa mencapai ratusan ribu rupiah untuk satu semester.
Maka, menyekolahkan anak pun tetap saja dirasakan sebagai beban yang
sering kali menguras air mata orangtua....

--
Ronsen
Yet Another Gindis Player
http://tinyurl.com/pgohk


------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~-->
Get to your groups with one click. Know instantly when new email arrives
http://us.click.yahoo.com/.7bhrC/MGxNAA/yQLSAA/uBfwlB/TM
--------------------------------------------------------------------~->
_____________________________________________________________

Keluarga Besar Mahasiswa Siantar-Bandung (KBMSB)
kbmsb@yahoogroups.com
http://groups.yahoo.com/group/KBMSB
http://www.mail-archive.com/kbmsb@yahoogroups.com

Disclaimer : Isi tanggung jawab pembaca !

Yahoo! Groups Links
<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/KBMSB/
<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]
<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/










Bookmark and Share

Klik! Baca selengkapnya ......

Orangtua Siswa Miskin Tangisi Mahalnya Biaya Sekolah

0 komentar




Jakarta (Kompas: 19/05/06) Berdiri di antara tumpukan barang-barangnya yang digeletakkan begitu saja di pinggir jalan, mata Siti (43) tampak berkaca-kaca. Korban gusuran proyek double-double track Manggarai-Cikarang yang pernah memiliki rumah di belakang Stasiun Kereta Api Jatinegara, Jakarta Timur, itu berdiri gelisah.

Bukan soal tempat tinggal yang sudah rata dengan tanah semata yang menggelisahkannya, tetapi terlebih soal nasib tiga anaknya yang masih usia sekolah. Belakangan ini Siti sering tidak kuasa menahan tangis. Apalagi saat anak-anaknya berkata malu terus ditagih uang bayaran sekolah. ”Setiap anak-anak mau ujian rasanya seperti dikejar-kejar utang.

Guru gencar menagih uang bulanan yang nunggak,” kata Siti yang mencari penghasilan tambahan dengan berjualan gorengan di Stasiun KA Jatinegara.Ade Putra (17), salah satu anaknya yang duduk di kelas III sebuah SMU swasta di Jakarta Timur, terus mendesak ibunya untuk melunasi uang sekolah yang sudah tiga bulan tidak dibayar, sebesar Rp 240.000. Ade khawatir ijazah kelulusannya nanti ditahan karena uang sekolah belum lunas.

Untuk anak bungsunya, Ajeng (7), yang sekolah di SD negeri, Siti bernapas lega karena tidak harus bayar biaya pendidikan. Namun, tetap saja Siti bingung melunasi uang buku paket yang pembayarannya bisa dicicil.”Ajeng jarang jajan karena uangnya ditabung untuk bayar buku. Untungnya, dia tidak pernah malu,” kata Siti, yang suaminya bekerja sebagai tukang parkir.

Yang saat ini mengganggu pikiran Siti adalah masa depan anaknya, Hari Adrianto (15), yang putus sekolah. Baru tiga bulan bersekolah di sebuah SMP negeri, Hari menangis minta izin ibunya untuk berhenti. Pasalnya, ia harus membayar uang pembangunan sebagai siswa baru Rp 900.000 yang ditetapkan dalam rapat dengan komite sekolah.

”Saya ingin anak-anak tidak malu kalau sekolah. Namun, bekerja sekeras apa pun kok uang yang didapat tidak juga cukup untuk bayar sekolah mereka,” keluh Siti.Perempuan asal Indramayu ini juga prihatin dengan nasib dua keponakannya yang putus sekolah karena terbentur biaya. Alfi (19) berhenti sekolah dua tahun lalu saat naik ke kelas III STM. Adiknya, Ardi (16), tidak bisa melanjutkan ke SMU.

Kesulitan membiayai sekolah anak juga dirasakan Freddy Tenlima (52), koordinator keamanan Perusahaan Umum Pengangkutan Penumpang Djakarta (PPD) Depo Cakung. Hatinya dipenuhi amarah saat anak bungsunya, Leonardo (15), siswa kelas I SMP di Bekasi, dua bulan ini tidak mau sekolah. Anaknya yang lain, Martin (18), siswa kelas III SMK swasta juga menuntut uang bulanan yang tertunggak.

Leonardo malu karena ayahnya yang tidak menerima gaji sejak Desember 2005-Mei 2006 tidak bisa membayar uang sekolahnya. ”Hati saya rasanya kacau. Sudah terusir dari rumah kontrakan, sekarang anak saya berhenti sekolah,” kata Freddy, yang seharusnya menerima gaji Rp 950.000 per bulan.

Akibat perusahaan BUMN itu yang terus merugi sehingga tidak sanggup lagi menggaji ribuan karyawannya, keluarga Freddy kesulitan hidup. Freddy sampai menulis dan mengantarkan sendiri surat soal kondisi perusahaannya dan nasib keluarganya ke Istana Presiden pada awal Mei lalu. Namun, sampai saat ini belum ada jawaban.

Demi mempertahankan semangat sekolah anaknya, Santoso Tri Prayitno (44), satpam Perum PPD, menemui bagian tata usaha. Santoso menjelaskan kondisinya yang tidak lagi bergaji sehingga tidak mampu membayar uang sekolah anaknya di SMP negeri di Rawamangun, Jakarta Timur, sebesar Rp 65.000 per bulan.

”Saya baru bisa bayar dua bulan untuk tahun ini. Itu pun mengutang. Saya terus terang saja soal kondisi keluarga karena memang tidak mampu. Apalagi ibunya di kampung sakit,” kata Santoso yang beruntung dua anaknya yang lain dapat bantuan biaya sekolah dari gereja.
Ketidaksanggupan orangtua menanggung biaya sekolah menyebabkan Herman (12), siswa kelas VI SD negeri di Pondok Kelapa, Jakarta Timur, juga berhenti sekolah. Ia kemudian berjualan koran untuk meringankan beban orangtuanya.

Di Jakarta kita begitu mudah menemui anak-anak usia sekolah yang terpaksa mengadu nasib di jalanan. Ada yang mengamen, mengemis, atau menjadi pedagang asongan supaya bisa mendapat uang ala kadarnya.

Selain untuk membantu dapur orangtuanya, ada juga yang untuk menambah uang sekolah. Di angkutan umum, misalnya, anak-anak kecil yang mengamen menyodorkan amplop yang bertuliskan untuk biaya sekolah.

Di DKI Jakarta di sekolah negeri terpampang spanduk bertuliskan sekolah gratis karena sudah ada bantuan operasional sekolah (BOS) dan biaya operasional provinsi (BOP).
Akan tetapi, yang sering dikeluhkan adalah biaya pembelian buku paket yang nilainya bisa mencapai ratusan ribu rupiah untuk satu semester. Maka, menyekolahkan anak pun tetap saja dirasakan sebagai beban yang sering kali menguras air mata orangtua....

Oleh: Ester L Napitupulu





Bookmark and Share

Klik! Baca selengkapnya ......

12 Juta Anak Indonesia Putus Sekolah

0 komentar

By Robert Manurung

155.965 anak berkeliaran di jalan. Sekitar 2,1 juta menjadi pekerja di bawah umur. Mereka sasaran empuk perdagangan anak.

Oleh : Robert Manurung

SETELAH membaca artikel ini, Anda pasti merasa sangat beruntung, dan mendapat alasan baru untuk mensyukuri kemujuran hidup Anda. Tapi sebaliknya Anda pun bisa dihinggapi rasa bersalah; prihatin dan cemas.

Tentu, kita semua sangat beruntung karena setidak-tidaknya telah menyelesaikan pendidikan SMA, bahkan sebagian besar di antara kita sudah bergelar sarjana. Bandingkanlah dengan nasib apes anak-anak di sekeliling kita; yang terpaksa putus sekolah karena orangtua tak mampu lagi membiayai; lalu menjalani hari-hari yang hampa dan menatap masa depan dengan rasa gamang.

Pernahkah Anda bayangkan bahwa jumlah anak putus sekolah di negeri tercinta ini ternyata sudah puluhan juta ? Menurut data resmi yang dihimpun dari 33 Kantor Komnas Perlindungan Anak (PA) di 33 provinsi, jumlah anak putus sekolah pada tahun 2007 sudah mencapai 11,7 juta jiwa. Jumlah itu pasti sudah bertambah lagi tahun ini, mengingat keadaan ekonomi nasional yang kian memburuk.

Ternyata, peningkatan jumlah anak putus sekolah di Indonesia sangat mengerikan. Lihatlah, pada tahun 2006 jumlahnya “masih” sekitar 9,7 juta anak; namun setahun kemudian sudah bertambah sekitar 20 % menjadi 11,7 juta jiwa. Tidak ada keterangan dari Komnas PA apakah jumlah tersebut merupakan akumulasi data tahun sebelumnya, lalu ditambah dengan jumlah anak-anak yang baru saja putus sekolah. Tapi kalaupun jumlah itu bersifat kumulatif, tetap saja terasa sangat menyesakkan.

Bayangkan, gairah belajar 12 juta anak terpaksa dipadamkan. Dan 12 juta harapan yang melambung kini kandas di dataran realitas yang keras, seperti balon raksasa ditusuk secara kasar–kempes dalam sekejap. Ini bencana nasional dengan implikasi yang sangat luas, dan bahkan mengerikan!

Alangkah ironisnya jika fakta ini kita hubungkan dengan agenda nasional beberapa tahun lalu; betapa anak-anak itu dan orangtua mereka dibujuk dan dirayu melalui kampanye yang sangat masif di televisi; termasuk program populer Ayosekolah yang diprakarsai aktor Rano Karno; supaya mereka mau bersekolah. Tahu-tahu sekarang mereka harus meninggalkan bangku sekolah, dan menyaksikan pameran kemewahan di sekitarnya–yang dari hari ke hari semakin vulgar dan telanjang.

Anak-anak itu ada di sekitar kita. Mungkin beberapa di antaranya adalah anak tetangga Anda. Dan siapa tahu, salah seorang di antaranya masih kerabat Anda, tapi mungkin berada di tempat yang jauh. Yang pasti, mereka adalah tunas-tunas harapan bangsa yang besar ini

Apakah aku, Anda dan kita semua berhak untuk terus bersikap masa bodoh; berdalih bahwa itu adalah tanggungjawab pemerintah; lalu melanjutkan cara hidup kita yang boros dan selfish? Adakah yang bisa aku lakukan selain mewartakan bencana ini melalui blog ? Dan tidak adakah yang bisa Anda lakukan selain merasa prihatin sejenak, lalu meninggalkan komentar, kemudian mencari di blog lain artikel yang lebih menyenangkan dan menghibur hati Anda ?

* * *

PENDIDIKAN formal memang bukan segala-galanya. Beberapa pengusaha besar di Indonesia, misalnya konglomerat Liem Sioe Liong, cuma lulusan sekolah dasar. Tapi itu kasus yang istimewa. Dalam kenyataan yang umum, tingkat pendidikan berpengaruh mutlak terhadap peluang bekerja, posisi di bidang kerja, tingkat salary dan fasilitas yang dapat dinikmati; menentukan pula terhadap perilaku individu dalam rumah tangga, tanggung jawab sosial; dan mempengaruhi bobot independensi individu di bidang sosial-politik

Kita tidak usah menjadi ahli sosiologi kalau cuma untuk memahami konsekuensi logis dari bencana ini. Secara kasat mata saja kita sudah bisa melihat dampak langsung dari begitu besarnya angka putus sekolah di Indonesia. Pengamen cilik dan usia remaja kini bergentayangan di seluruh wilayah negeri ini. Tidak hanya di kota-kota besar, mereka hadir sampai di desa-desa dan menyebarkan kebisingan, gangguan dan kecemasan.

Menurut Sekjen Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, kasus putus sekolah yang paling menonjol tahun ini terjadi di tingkat SMP, yaitu 48 %. Adapun di tingkat SD tercatat 23 %. Sedangkan prosentase jumlah putus sekolah di tingkat SMA adalah 29 %. Kalau digabungkan kelompok usia pubertas, yaitu anak SMP dan SMA, jumlahnya mencapai 77 %. Dengan kata lain, jumlah anak usia remaja yang putus sekolah tahun ini tak kurang dari 8 juta orang.

Bayangkan, 8 juta remaja yang masih labil dan mencari identitas diri terpaksa putus sekolah; terpaksa meninggalkan teman-temannya yang masih terus bersekolah; dan terpaksa menelan kenyataan pahit sebagai manusia yang gagal dan tereliminasi. Ini problem sosial yang dahsyat!

Menurut Arist Merdeka Sirait, sebagaimana diberitakan surat kabar Kompas edisi Selasa (18/3),”Dampak ikutan, anak-anak yang berkeliaran di jalan-jalan di Jakarta juga akan terus bertambah. Setelah mereka putus sekolah tentu mereka akan berupaya membantu ekonomi keluarga dengan bekerja apa pun.”

“Bekerja apapun” adalah sebuah pesan yang sangat jelas, meski sengaja disampaikan secara samar. Artinya, dalam rangka stuggle for life atau demi melanjutkan gaya hidup yang terlanjur konsumtif; bisa saja mereka menjadi pedagang asongan, pengamen, pengemis, kuli panggul, pencopet, pedagang narkoba; atau menjadi pembantu rumah tangga, kawin di usia dini atau menjadi pelacur.

* * *

MENURUT catatan Komnas PA, pada tahun 2007 sekitar 155.965 anak Indonesia hidup di jalanan. Sementara pekerja di bawah umur sekitar 2,1 juta jiwa. Anak-anak tersebut sangat rawan menjadi sasaran perdagangan anak.

Bukan cuma itu. Anak-anak yang hidup di jalanan itu juga sangat potensial disalahgunakan oleh kejahatan yang terorganisasi. Tekanan untuk bertahan hidup dan godaan untuk hidup mewah adalah dua titik lemah para remaja yang masih labil itu; sehingga mereka bisa dibujuk dengan gampang untuk melakukan tindak kriminal.

Di Brazil, di antara jutaan anak yang hidup gentayangan di jalanan, sebagian sudah menjelma menjadi monster. Cukup diberi imbalan 100 dolar, anak-anak itu bisa disuruh membunuh orang atau jadi kurir narkoba. Mereka membuat kehidupan sehari-hari di kota-kota besar semacam Rio de Janeiro dan Sao Paulo bisa berubah menjadi horor, tanpa disangka-sangka. Warga pun jadi resah, dan pemerintah kota yang kurang panjang akal dan tidak bermoral kemudian merespon kepanikan masyarakat dengan jalan pintas : anak-anak itu ditembaki dan dibunuh secara massal– pada malam hari,. ketika mereka tertidur di taman-taman kota atau di emperan-emperan toko.

Jalan pintas dan cara-cara yang tidak manusiawi dalam menanggulangi problem urbanisasi—termasuk masalah anak-anak jalanan, kini sudah banyak dipraktekkan oleh sejumlah pemda di pulau Jawa. Baru-baru ini, aparat Polisi Pamongpraja Kotamadya Serang menciduk para gelandangan di malam hari, kemudian orang-orang yang malang itu diangkut dengan kendaraan dan dibuang di wilayah Kabupaten Pandeglang. Siapa sangka, tindakan biadab seperti itu bisa dilakukan oleh aparat pemerintah di sebuah negara yang berazaskan Pancasila, di sebuah provinsi yang berambisi menyaingi Aceh sebagai Serambi Mekah ?

Inilah potret buram dunia pendidikan Indonesia hari ini. Kalau ternyata Anda tiba-tiba diliputi rasa bersalah, prihatin dan cemas setelah melihat potret jelek itu, beryukurlah, ternyata Anda masih normal dan memiliki moral yang tinggi. Dan bersyukurlah, karena bukan Anda atau kerabat dekat Anda yang hari ini terpaksa putus sekolah, sementara pemerintahan SBY-JK masih saja nekad membuat rasionalisasi untuk mengecoh masyarakat—seolah-olah perekonomian nasional sudah pulih dan bangkit.

Percayalah, SBY-JK baru akan yakin bahwa ada masalah—sebenarnya lebih tepat disebut bencana nasional, kalau cucu mereka sendiri yang putus sekolah karena tidak ada biaya. Mudah-mudahan itu tidak terjadi, karena kalau sampai terjadi kita tidak bakal sempat menyaksikannya, karena sudah keburu mati akibat kelaparan.

M E R D E K A !


Sumber: Ayomerdeka



Bookmark and Share

Klik! Baca selengkapnya ......

Nasib Anak Putus Sekolah

0 komentar

Selamat Pagi Indonesia
22/04/2008 - 00:01


GEGAP gempita demokratisasi dalam berbagai pilkada di Indonesia tidak boleh melupakan tingginya angka kemiskinan dan angka putus sekolah di kalangan masyarakat bawah. Demokrasi hanya akan berarti, jika tidak ada lagi angka putus sekolah dari SD sampai SLTA akibat kemiskinan dan keterbelakangan.

Hanya dengan generasi penerus yang terdidik dan cerdas serta bermoral, maka hari depan bangsa bisa dibayangkan titik terangnya. Namun pendidikan di Indonesia semakin lama semakin mahal. Program pendidikan gratis yang diterapkan pemerintah pun masih dianggap belum efektif dalam meningkatkan pendidikan di Indonesia.

Sehingga wajar bila banyak anak-anak usia sekolah yang terpaksa putus sekolah akibat masalah dana. Sebanyak 8 juta siswa SD sampai SLTP di seluruh Indonesia terancam putus sekolah. Jumlah tersebut setara 20% hingga 40% siswa SD-SMP saat ini, yaitu sekitar 40 juta siswa.

Fakta 8 juta siswa yang terancam putus sekolah ini disampaikan oleh A Piet Simandjuntak, Sekretaris Pengurus Gerakan Nasional Orangtua Asuh (GN-OTA). Tingginya angka anak-anak yang putus sekolah ini, ditengarai menjadi pangkal dari banyaknya kasus eksploitasi anak di bawah umur, perdagangan anak (trafficking), dan narkoba.

GN-OTA didirikan atas inisiatif pemerintah pada 29 Mei 1996 yang diawali dengan kepedulian akan tuntasnya program Wajib Belajar 6 tahun. Saat ini program wajib belajar telah ditingkatkan menjadi Wajib Belajar 9 tahun, yaitu dari SD sampai SLTP.

Kita sangat prihatin terhadap tingginya angka putus sekolah akibat kemiskinan itu. Sudah semestinya pemerintah maupun kaum kaya di Indonesia perduli dan berkomitmen membantu mengatasi masalah tersebut.

Memang sejumlah perusahaan telah menunjukkan kepeduliannya. GN-OTA misalnya baru-baru ini menerima bantuan sebesar Rp 100 juta dari PT Tirta Citra Nusantara. Angka itu jelas jauh dari cukup, meski diharapkan dapat membantu biaya pendidikan seribu siswa seluruh Indonesia.

Kita mengimbau kaum kaya dan pengusaha untuk memberikan sumbangan bagi GN-OTA agar menjadi bentuk kepedulian terhadap masalah sosial dan pendidikan di Indonesia. Jika angka putus sekolah SD sampai SMA bisa diatasi, masa depan generasi mendatang sudah pasti akan lebih baik dibandingkan masa lalu yang ditandai dengan tingginya angka putus sekolah itu.

Sudah tentu, kebijakan pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan murah atau gratis amat dinantikan oleh kaum miskin, agar kehidupan mereka bisa bebas dari buta pengetahuan.

Adalah tugas dan kewajiban negara dan masyarakat secara bersama untuk mencerdaskan bangsa dan menyelamatkan kaum tak punya dari keterbelakangan. Ini penting agar delapan juta siswa sekolah tidak putus di tengah jalan.

Sumber: Inilah.com





Bookmark and Share

Klik! Baca selengkapnya ......

Minggu, 10 Mei 2009

Pelajar Indonesia Raih Emas dan Perak Dalam Project Olympiad Tahun 2009

0 komentar

Kamis (23/04), empat pelajar Indonesia tiba di tanah air usai berlaga dalam ISWEEEP (International Sustainable World Energy, Engineering, and Environment Project Olympiad) di Houston, Texas, AS, pada 15-20 April silam. Keempat pelajar tersebut berhasil meraih satu medali emas dan satu perak. Mereka adalah Dede Chyntia dan Evelyn Wibowo dari SMA Santa Laurensia, Reza Dwi Aji dan Luthfi Rais dari SMA Pribadi Depok. Kedatangan mereka di terminal 2D bandara internasional Soekarno – Hatta, Cengkareng disambut Direktur Pembinaan Sekolah Menengah Atas Dr. Sungkowo M beserta staf direktorat, media massa, keluarga, dan teman-teman sekolah mereka.

I SWEEEP 2009 diikuti oleh 60 negara, termasuk 40 diantaranya adalah negara-negara bagian di Amerika Serikat. Total penelitian yang diikuti peserta berjumlah 420 project. Delegasi Indonesia mengirimkan dua tim pada ajang ini. Mereka terpilih mewakili Indonesia setelah sebelumnya mengikuti kompetisi ISPO (Indonesian Science Project Olympiad) yang dilaksanakan pada 11 – 13 Maret lalu di Balai Kartini, Jakarta.
Dalam penelitiannya di bidang lingkungan, Dede Cintya dan Evelyn Lee memaparkan tentang penggunaan debu terbang hasil pembakaran batu bara untuk mengurangi keasaman pada air hujan/acid rain, polusi udara, dan kandungan logam berat pada limbah. Penelitiannya ini diberi judul “Reducing Acid Rain, Gas Pollutant, and Heavy Metal by Using Charcoal’s Combustion Waste”. Melalui penelitian tersebut, Dede dan Evelyn dianugerahi medali emas. Sementara Luthfi dan Reza memperoleh medali perak dari judul penelitiannya “New Device for Getting Maximum Benefit From Solar Energy”. Luthfi dan Reza mengambil penelitian bidang energi yang menjabarkan tentang bagaimana memaksimalkan energi matahari untuk digunakan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari. Persiapan yang dilakukan mereka untuk penelitian ini berlangsung selama 6 bulan. Alasan memilih penelitian tersebut karena bersifat multifungsi. “Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menjemur pakaian, membantu nelayan menangkap ikan di laut, dan membantu perkembangan industri-industri kecil. Mudah-mudahan untuk ke depan, penelitian ini bisa dikembangkan lagi lebih maksimal.” Kata Reza.

“Oya, waktu tiba di bandara Houston, alat-alat kita sempat rusak. Ada satu komponen yang patah dan kabel-kabel penghubungnya putus. Kejadian ini sempat menyulitkan kita saat presentasi, karena alat yang digunakan kurang dapat bergerak dengan maksimal. Jadi, peluang kita mendapatkan emas, tipis.” Tutur Luthfi.

Dr. Sungkowo menyampaikan selamat kepada para juara usai mengalungkan medali. Menurutnya, kita patut bersyukur atas kemenangan ini dan memberikan penghargaan kepada mereka. Meskipun ajang ini tidak sepopuler olimpiade sains lainnya, tapi sudah cukup membuktikan bahwa prestasi anak-anak Indonesia semakin diperhitungkan di tingkat dunia. ”Ini adalah prestasi kedua kita di awal tahun 2009. Saya berharap akan ada prestasi-prestasi selanjutnya dalam bidang project olympiad dan di bidang olimpiade sains hingga penghujung 2009 nanti. Sehingga perolehan target medali di tingkat SMA untuk tahun ini bisa lebih banyak lagi dibandingkan tahun kemarin,” ujar Direktur Pembinaan SMA.

Selain penghargaan berupa medali, keempat pemenang juga memperoleh hadiah berupa uang tunai sebesar 1000 US dollar untuk peraih medali emas dan 750 US dollar bagi peraih perak. Khusus bagi Reza dan Luthfi juga mendapatkan beasiswa pendidikan senilai US$ 32.000 dari Fatih University. (Rinda)
Sumber: Potensi


Bookmark and Share

Klik! Baca selengkapnya ......

Sabtu, 09 Mei 2009

Biodata Anugerah Erlaut

0 komentar


Nama : Anugerah Erlaut (Laut)
Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 6 September 1991
Alamat Rumah : Jalan Tanjung Raya no. 8 Blok O VII, Taman Cimanggu, Bogor
Email : dark_descension@yahoo.com
Sekolah : SMA Kharisma Bangsa/ XII IPA B
Cita – cita : jadi businessman yang berkontribusi besar terhadap kemajuan negara
Hobi : membaca hal-hal yang berbau bisnis dan keuangan, baca cerpen juga,
(terutama karya Kurnia Effendi) travelling, wisata kuliner, berenang, naik sepeda dan ngenet!
Motto Hidup : Be true to yourself!
Target Universitas : Financial Engineering, Carnegie Mellon University (masih menerawang…)
Motivasi Prestasi : Mengejar ilmu itu bagaikan langit.
Setelah melewati satu tingkatan, masih ada langit. Abis itu, masih ada langit lagi.

My Family
Ayah/Pekerjaan : Dr. Agus Somamiharja/ Karyawan
Ibu/Pekerjaan : Ir. Dwi Amelina/ Ibu rumah tangga
Jumlah Saudara : 3
Anak Ke : 1

About Me
Tokoh Idola : Salah satunya adalah Rowan Atkinson a.k.a Mr. Bean. Hehe, seperti yang kita tau,
film-filmnya mengundang tawa, tapi dia adalah salah satu aktivis damai yang menentang Irak. Dan aksinya menarik simpati dunia. Dua sisi koin yang berlawanan, dimiliki oleh satu orang. Fenomenal.
Makanan/Minuman Favorit : Mie ayam bakso pangsit tahu siomay ceqer-nya bakso Akung, chicken steak, martabak manis, martabak kubang, sate padang, ribs (terutama punya Daeng Tata!) dan banyak lagi…
Genre dan Lagu Favorit : Lagi explore lagu-lagu klasik. Favoritnya pop dan rap. Lagunya macem-macem sih, especially “Crush”nya David Archuleta dan “Hey There Delilah”-nya Plain White T’s. Oh ya, lagu-lagu Gita Gitawa dan Project Pop juga suka. Banget. (Terutama yang mello-mello)
A Word About Me : Unexpected…
Talenta : Menemukan ide-ide genius binti aneh bin ajaib!
Acara TV Favorit : Extravaganza dunk, :D
Film Favorit : The Lakehouse… very touching, :P
Musik Favorit : pop, jazz, classic, hip-hop, rap
Buku Favorit : “Kambing Jantan” by Raditya Dika
Makna Hidup : Kebahagiaan yang harus diraskan bersama orang lain

About TOBI
Kenapa Pilih Biologi : Dulu kata temen-temen bagusnya di biologi, so why not give it a shot..?
Kesan dan Pesan bergabung dengan TOBI : Seneng banget! Kakak-kakak mahasiswanya keren n lucu-lucu! Gak bosen dan gaptek deh masuk TOBI! Pengen banget TOBI berjaya terus dan melahirkan kader-kader pembangun bangsa…
Kesan pertamaka kali Ikut IBO : Tegang, seneng dan … lucu…?
Feel Dapat Medali IBO : Kaget! 5 detik kemudian, baru deh senengnya muncul. Target terakhir dapat emas IBO 2009 di Jepang

Prestasi
• Peringkat 2 Human Biology Olympiade (HBO) FK UGM, 2007
• Peringkat 1 bidang biologi Olimpiade Sains Nasional (OSN) 2007 tingkat Kabupaten-Kota
• Peringkat 1 bidang biologi Olimpaide Sains Nasional (OSN) 2007 tingkat Provinsi (Jawa Tengah)
• Medali Emas bidang biologi Olimpiade Sains Nasional (OSN) 2007
• Best Theory bidang biologi Olimpiade Sains Nasional (OSN) 2007
• Peringkat 2 National Medical and General Biology Championship 2008, FK UI
• Semifinalis National Olimpiad of Medical Science (NOMS) 2008, FK UGM
• Medali Perak International Biology Olympiad (IBO) 2008


Sumber: Potensi




Bookmark and Share

Klik! Baca selengkapnya ......

Seleksi Asian Student Exchange dan Sunburst Youth Camp

0 komentar

Kualitas Merata

Seleksi Asian Student Exchange dan Sunburst Youth Camp(ASE dan SYC) yang berlangsung 2 – 5 Maret 2009 di Lembaga Peningkatan Mutu Pendidikan (LPMP) dibuka oleh Dr.Sungkowo M. Menurut Direktur Pembinaan Sekolah Menengah Atas, semua peserta memiliki kualitas yang merata. Siapa yang akan terpilih, nantinya akan menjadi kebanggaan bagi sekolah, keluarga dan negara. Melalui ajang ini, para siswa akan memperoleh pengalaman berharga sekaligus menambah teman dari berbagai negara.

Di sela-sela acara pembukaan ASE dan SYC Dr. Sungkowo M, menuturkan, kebudayaan Indonesia sangat spesifik. Indonesia mempunyai budaya ramah tamah, berkepribadian baik, berperilaku baik, punya nilai religius, juga memiliki kesenian yang beragam. Seni inilah yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia yang terbentang dari sabang sampai merauke. Banyak yang bisa diexplore dari seni. Melalui seni tercermin siswa-siswa yang cerdas, sehat, dan berkepribadian baik.

“Ternyata anak-anak yang di panggil untuk mengikuti seleksi ini memiliki kepribadian yang bagus, mereka ada yang bisa membaca Al Qur’an dengan lancar. Di samping itu do’anya juga bagus. Kadang kadang kita terkecoh dengan kasus-kasus yang memberitakan tentang mereka. Berita-berita miring itu di blow up di media massa, yang ditampilkan hanya buruknya saja. Di sini kita bisa melihat, bahwa kita memiliki anak-anak yang baik.” Ujarnya.

Pada seleksi ASE dan SYC ini, metode seleksi tidak mencari siapa yang lulus atau tidak lulus, namun tim juri hanya membuat rangking yang terbaik. Di lihat dari kemampuan akademik, para peserta memiliki kemampuan akademik yang merata, hanya mereka belum terasah saja. Pada lomba ini juga diujikan potensi akademik, psikologi, dan Bahasa Inggris. Sedangkan di potensi akademik, akan diujikan soal-soal yang mengandung kemampuan seni dan sosial. Diharapkan, siswa yang akan berangkat nanti, dapat menjadi duta yang the best, juga bisa membawa nama baik bangsa Indonesia di negara-negara Asia.

Menurut Prof. Dr. M. Noor Rochman Hadjam, ketua tim penguji dari Universitas Gajah Mada, metode seleksi tetap sama, namun materinya yang berbeda. Kriteria pemilihan siswa, masih sama dengan tahun lalu. Sedangkan ketua koordinator pelaksana juri, Wahyu Widiarso, MA, menjelaskan, teknis penjurian dibagi menjadi 3 komponen. Pertama penalaran mereka. Di situ dinilai kemampuan mereka dalam memahami masalah. Di samping itu, wawasan mereka juga dinilai. Kedua penilaian terhadap emosi peserta. Penilaian ini mencakup cara siswa dalam mengelola emosi, penyesuaian diri, adaptasi, dan motivasi belajar. Ketiga, penilaian terhadap ketrampilan. Pada penilaian ini akan dititikberatkan pada bobot yang berbeda antara penalaran, emosi dan psiko motorik. Kemampuan berbahasa Inggris hanya sekedar untuk mengecek saja, sebab kemampuan peserta pada penguasaan bahasa internasional yang satu ini sudah sangat baik.

Penambahan komponen sudah dilakukan dari tahun lalu, di antaranya interpersonal, komunikasi, dan bagaimana cara si siswa bergaul. “Kemampuan dari semua peserta merata, mereka cepat belajar dan beradaptasi. Saat psikotest dan menunjukkan kemampuan dalam berkesenian, kemampuan mereka berada di atas rata-rata. Ujian untuk mengetahui potensi akademis yang mereka miliki hanya sekedar untuk mengetahui dasar-dasarnya saja. Ujian-ujian yang diberikan juga bersifat simulasi, tujuannya untuk menguji ketahanan mereka. Dari situ bisa diketahui mana siswa yang mudah bosan, mudah putus asa, kurang motivasi dan gampang menyerah. Namun demikian, ada juga siswa yang tetap bersemangat dan berusaha memecahkan masalah dengan baik.” demikian Wahyu.

Ni Luh Christina Prapmika Jayanti, Kelas XI SMAN 1 Denpasar


(Kiri ke kanan) Yusuf Amin Yafie,
M. Nazir Akbar, Ni Luh Christina Prapmika
Jayanti, Arreush Ainny Gozali

Titin, panggilan akrabnya, merasa senang bisa mengikuti seleksi ini. Menurutnya, seleksi yang ia ikuti, sangat berguna, melalui ajang ini ia banyak memperoleh pengalaman. Ia juga merasa bangga menjadi calon duta Indonesia yang akan mengharumkan nama bangsa Indonesia di dunia internasional. Awalnya, psikotest dan Toefl yang diujikan dirasakannnya cukup sulit. Namun, ia pantang menyerah dan harus tetap optimis. “Asal berdo’a dan berusaha dengan sungguh-sungguh, semua pasti ada jalan. Kalau lolos saya berharap bisa mengharumkan nama bangsa dan dapat memperbaiki nama Indonesia di mata dunia. Selain itu juga bisa bersaing di kancah internasional. ” Ujar siswa yang juga berprofesi sebagai penyiar radio Casanova, Bali ini. Di samping itu, gadis yang enerjik ini, pada 2006-2008 menjadi duta anak Indonesia di bidang pendidikan. Sekarang ia menjabat sebagai Sekretaris Forum Anak Daerah. Titin juga memiliki segudang prestasi di bidang sosial, seni budaya dan keagamaan. Dalam sesi unjuk kesenian, Titin yang sejak umur 4 tahun sudah belajar tari Bali, membawakan tari oleg tamulilingan dengan gemulai. Bila tidak terpilih tentu saja ia merasa sedih, menurutnya perasaan sedih itu manusiawi. Tapi meski demikian ia akan tetap optimis.

M. Nazir Akbar, Kelas X SMAN 78 Jakarta Barat
Bagi Nazir Akbar, ikut dalam seleksi ini sungguh seru. Ia merasa senang memperoleh teman dari seluruh Indonesia. Selain itu, ia juga bisa menambah wawasan dengan mengetahui adat istiadat dari berbagai daerah di Indonesia. Secara keseluruhan, Nazir mengaku menjalani semua ujian dengan cukup lancar. Pada sesi unjuk kesenian dia menyayikan Lagu bungong jeumpa dari Aceh sambil bermain gitar. Siswa yang aktif di olahraga bola basket dan pandai bermain gitar ini tidak merasa kecewa bila tidak terpilih. Ia menerima dengan lapang dada hasil dari seleksi ini.

Arreush Ainny Gozali, Kelas XI SMAN 1 Bandung
Acara seleksi ini merupakan kesempatan untuk menunjukan dan mengukur kemampuan bakat yang dimilikinya. Di ajang ini ia bisa bertukar budaya. Siswi yang aktif di ekskul sekolahnya dan bercita-cita menjadi sekretaris ini, juga tergabung dalam paduan suara dan vocal group sekolah. Ia mengaku tidak mengalami kendala saat menjalani tes psikologi. Satu hal yang membuatnya tertantang adalah saat mengikuti ujian Toefl. Selebihnya ia merasa nyaman-nyaman saja saat membawakan tari merak. “Kalau lulus saya sangat bersyukur dan ini menjadi misi saya untuk menunjukan pada dunia internasional bahwa budaya Indonesia itu banyak, beragam dan menarik. Saya senang bisa memperkenalkan kebudayaan Indonesia pada negara lain. Seandainya tidak terpilih pun tak masalah, karena ikut seleksi ini saja saya sudah senang. “ katanya gembira.

Yusuf Amin Yafie, Kelas XI SMAN 2 Kota Bengkulu
“Acara ini sangat berkesan dan menarik sekali. Saya bisa bertemu, berkenalan dengan teman-teman baru. Mereka sudah seperti keluarga bagi saya.” Ujar cowok yang lancar berbahasa Inggris ini. Selain itu, Yusuf juga aktif di eskul l debat bahasaI Inggris di sekolahnya. Melalui debat bahasa Inggris, ia kerap menjadi juara. Presiden English Club di sekolahnya, saat ini menjabat sebagai Ketua Osis Sekolah. Lolos atau tidak, itu bukan masalah. Ia merasa senang bisa mengetahui beragam karakteristik dari teman-temannya. “Melalui kegiatan ini, saya berharap bisa memetik pengalaman yang berharga yang bisa diterapkan dalam kehidupan se hari-hari.” Kata siswa yang aktif di kegiatan Risma (Remaja Islam Masjid) di lingkungannya. (Sidik/fanny)






Sumber: Potensi



Bookmark and Share

Klik! Baca selengkapnya ......

World School Debating Championship 2009

0 komentar

Peringkat WSDC Indonesia Naik

Lawan-lawan tangguh yang berhasil dikalahkan Indonesia pada babak penyisihan adalah Belanda, Republik Ceko, dan Turki. Selain tiga kemenangan itu, Indonesia juga berhasil merebut poin juri dari Filipina, Bermuda, dan Qatar. Prestasi Indonesia tahun ini setara dengan Israel yang juga memperoleh tiga kemenangan dan 12 poin juri. Prestasi Indonesia juga lebih baik dari negara-negara seperti Amerika Serikat, Republik Ceko, Thailand, serta Jepang. Beberapa motion (tema debat) yang dibahas antara lain tentang harta budaya yang harus dikembalikan pada wilayahnya, penggunaan energi nuklir sebagai energi alternatif, sampai tema-tema debat yang sifatnya klasik seperti pelarangan merokok di tempat umum dan masalah tidak diperbolehkannya hukuman fisik bagi anak-anak.

WSDC 2009 diikuti oleh 39 negara, 12 di antaranya masuk dalam kategori ESL (English as a Second Language), dan 10 di antaranya masuk dalam kategori EFL (English as a Foreign Language). Indonesia pada tahun ini masuk dalam kategori EFL bersama dengan Korea, Slovenia, Belanda, Argentina, Lithuania, Republik Ceko, Romania, Jerman, dan Jepang. Dalam kategori EFL, Indonesia berhasil menduduki peringkat ke-5 dari 10 negara, yaitu di atas Lithuania, Republik Ceko, Romania, Jerman, dan Jepang.

Dalam laporannya usai kepulangan dari Athena, Manajer Tim Indonesia Rivandra Royono mengatakan, prestasi individu anggota tim Indonesia juga cukup membanggakan, karena salah satu pembicara Indonesia, yaitu Adlini Ilma Ghaisany Sjah, berhasil memperoleh prestasi sebagai pembicara terbaik urutan 19 dari kategori pembicara EFL. “Secara keseluruhan, prestasi kita tahun ini mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun lalu. Terutama dari perolehan peringkat di antara negara-negara kategori EFL, yaitu negara yang tidak memiliki bahasa Inggris sebagai bahasa utama.” Simpul Rivan.

Untuk jangka panjang ke depan Rivan mengharapkan agar eksistensi debat di Indonesia semakin baik dan merata di seluruh daerah, khususnya untuk kalangan remaja. Sudah waktunya anak-anak Indonesia diperkenalkan dan dilatih debat sejak dini. Mayoritas negara-negara yang menang debat dalam WSDC sudah melakukan pembinaan debat sejak kelas 4 SD, seperti Pakistan, New Zealand, dan Singapura. “Ada makna yang lebih penting selain menang dari keikusertaan Indonesia dalam ajang debat, yakni melatih siswa untuk dapat berpikir kritis dan berbicara logis di hadapan publik internasional. Semakin seringnya Indonesia mengikuti WSDC, maka semakin banyak yang menilai bahwa makin pentingnya debat untuk dipelajari di sekolah. Kini di sekolah-sekolah khususnya SMA, sudah mulai banyak terbentuk club-club debat sebagai bagian dari ekstrakurikuler.” Ujar Rivan.

Di samping itu Rivan menambahkan, keberadaan Indonesia dalam forum WSDC sudah mulai diperhitungkan dalam hal isu-isu penting. Terlebih lagi usai terpilihnya salah satu juri Indonesia Sheria Ayuandini sebagai anggota eksekutif tim juri WSDC. Selain itu dapat juga dilihat dari keberpihakan juri terhadap Indonesia dalam hal judges score (nilai juri). Minimal satu juri selalu berpihak pada Indonesia dalam setiap ronde yang diikuti. Hal-hal tersebut menjadi dampak yang positif untuk perkembangan debat Indonesia ke depan. “Bahkan ketika Indonesia menang melawan Amerika Serikat, salah seorang juri asal Singapura mengatakan tim Indonesia secara performance debat dapat disejajarkan dengan Amerika, bahkan Indonesia terlihat lebih matang. Tim juri menilai, kasus-kasus yang dipersiapkan Indonesia cukup kuat, hanya bahasa saja yang harus semakin diperjelas improvisasinya,” cerita Rivan mengakhiri wawancara. (rinda)

Liputan Potensi

Sumber: Potensi

Bookmark and Share

Klik! Baca selengkapnya ......
 

Copyright 2009 All Rights Reserved KABAR KEGIATAN KESISWAAN.